4 Pelaku Bisnis di Indonesia
A.
Pedagang: orang yang melakukan usaha.
Karakteristik
pedagang :
- Bidang usahanya biasanya tunggal, atau hanya satu.
- Tidak memiliki pegawai atau karyawan.
- Minim inovasi dan pengembangan usaha.
- Hanya menjalankan rutinitas usaha.
- Pendapatan hanya dari satu sumber, sehingga apabila sedang lesu, penghasilan berkurang.
B.
Pebisnis atau pengusaha: orang yang melakukan bisnis.
Karakteristik
pebisnis :
- Sudah memiliki karyawan atau staf.
- Sudah memiliki struktur dan sistem bisnis.
- Memiliki sejumlah usaha.
- Hanya fokus di pengembangan usaha.
- Masih minim inovasi dan kreativitas.
- Pendapatan tidak hanya dari satu sumber sehingga sudah bisa saling menutupi.
- Meski ada sedikit usaha pengembangan, pengusaha masih menjalani rutinitas usaha dengan penghasilan tetap.
- Bila dibiarkan terus usahanya tanpa inovasi, lama kelamaan akan hancur tergerus perkembangan zaman.
C. Entrepreneur: orang yang melakukan wirausaha.
Karakteristik entrepreneur :
- Sudah memiliki karyawan atau staf.
- Sudah menjalankan bisnis secara sistematis dan terstruktur.
- Memiliki sejumlah usaha.
- Memiliki nafsu dan mabuk mengembangkan usaha.
- Berambisi memperluas bisnis.
- Memiliki inovasi dan kreativitas dalam usahanya.
- Pandai mengambil peluang usaha.
- Pendapatan bisa dari berbagai sumber usahanya.
- Rajin mencari terobosan-terobosan baru.
D. Pelaku UKM : Usaha Kecil dan Menengah adalah sebuah
istilah bagi pelaku usaha yang menjalakan bisnis dengan skala kecil dan
menengah.
Karakteristik :
1. Berdiri sendiri, bukan merupakan
anak perusahaan atau cabang perusahaan yang tidak dimiliki, dikuasai, atau
berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Menengah atau
Usaha Besar
2. Berbentuk usaha orang perorangan , badan usaha yang
tidak berbadan hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi
5 Masalah Bisnis di Indonesia
1.
Dangkalnya sumber daya manusia
Seperti negara tetangga lainnya di
Asia Tenggara lainnya, Indonesia masih kekurangan tenaga profesional handal.
Berdasarkan International Labour Organization
(ILO), Indonesia semakin kesulitan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja
seiring dengan cepatnya laju globalisasi, perkembangan teknologi mutakhir, dan
pola kerja dinamis. ILO juga mengklaim masalah tersebut diperparah dengan
adanya emigrasi tenaga profesional, tenaga kerja yang semakin menua, dan
kurangnya fasilitas untuk penyediaan pelatihan.
Bank Dunia
mengungkap buruknya sistem pendidikan sebagai penyebab utamanya, dan berakibat
kurangnya kemampuan berpikir dan perilaku karyawan yang dinilai cukup penting bagi
perusahaan. Hal ini diperburuk dengan fakta bahwa banyak karyawan muda di
Indonesia yang tampaknya belum diberikan bekal cukup untuk pekerjaannya atau
untuk kehidupan profesional secara umum. Untuk menghindari masalah ini, banyak
entrepreneur memilih untuk meng-outsource kemampuan teknis yang mereka butuhkan
dari negara maju.
2. Rumitnya
birokrasi
AFP
mengungkapkan Indonesia merupakan salah satu
negara terburuk bagi startup untuk urusan birokrasi. Situs Startups.co.uk mengartikan birokrasi
sebagai kode etik, hukum dan peraturan yang dibuat saat memulai bisnis baru. The Organisation for Economic Co-operation and
Development (OECD) mengatakan rata-rata dibutuhkan lima
hari dan lima prosedur untuk membangun entitas korporasi di negara seperti AS.
Sedangkan di Indonesia membutuhkan sembilan prosedur dan 47 hari.
Survey yang dilaksanakan oleh Political and Economic Risk
Consultancy (PERC) memberi peringkat pada 12 negara utama
dari skala 1 hingga 10, dengan 10 sebagai nilai terburuk dalam kesulitan
prosedural yang dialami investor asing. Indonesia berada di posisi terendah
kedua dengan nilai 8,59, di atas India di posisi terakhir dengan 9,41.
Indonesia dikalahkan negara berkembang lainnya seperti Filipina (8,37), Vietnam
(8,13), dan Thailand (5,53).
3. Target
konsumen yang sulit diraih
Indonesia, negara dengan penduduk
terbesar keempat di dunia, merupakan posisi kelima dari pasar e-commerce di
Asia berdasarkan penjualan. Pengguna internet di negara ini tumbuh menjadi 74,6
juta di tahun lalu dan seharusnya dapat tumbuh dua kali lipat menjadi 125 juta
di tahun 2017. Namun jangan cepat tergiur untuk berinvestasi. Coba cermati hal
ini terlebih dahulu:
Perusahaan riset pasar lokal Markplus Insight
mengatakan bahwa kurang dari separuh pengguna internet di Indonesia
menghabiskan tiga jam atau lebih untuk online dalam sehari, dengan kata lain
cukup untuk menempatkan mereka dalam kategori ‘netizen’ yang tidak resmi
(netizen adalah sebutan bagi mereka yang sangat gemar online dan membentuk
kelompok online shopper). Terlebih, jumlah pengguna internet rumahan sangat
rendah karena jaringan internet kabel untuk rumah cukup lambat dan cenderung
mahal di tanah air. Hal ini bisa menjadi salah satu faktor terbatasnya
pembelian online di masyarakat, berhubung kebanyakan orang masih mengakses
internet dari kantor dibanding dari rumah.
4.
Logistik untuk e-commerce tidak dapat diandalkan
Hambatan lebih lanjut dalam ranah
ecommerce di Indonesia, MarkPlus
Insight menambahkan, ialah konsumen mengalami kesulitan membayar
barang pesanan dan mendapatkan jasa pengiriman. Buruknya infrastruktur di
Indonesia menjadi salah satu alasan e-commerce disini memiliki potensi besar,
karena banyak warga perkotaan tetap dapat berbelanja di area yang terkena
macet. Namun jalanan yang buruk dan alamat tidak lengkap juga menjadi tantangan
untuk proses pengiriman barang. Pembayaran turut menjadi masalah lainnya.
Banyak pelaku retail online membutuhkan transfer melalui ATM sebelum barang
dapat diantarkan. Persoalan ini membuat belanja online hanya “sedikit” lebih
nyaman dibandingkan membeli di toko secara tradisional.
5.
Konsumen yang ikut-ikutan
Investor yang ingin membawa inovasi
paling mutakhir dari Silicon Valley ke Jakarta mungkin butuh untuk berpikir
ulang. Studi menunjukkan konsumen di Indonesia lebih tertarik pada produk dan
jasa yang sudah memiliki nama besar di pasar. Hal ini juga menempatkan banyak
konsumen Indonesia dikategorikan sebagai ”late adopters”, yang berarti
belum yakin terhadap merk baru dan belum terkenal.
Firma konsultasi manajemen global McKinsey
& Company mengungkapkan, “Warga perkotaan Indonesia di kelas
yang konsumtif naik sebanyak lima juta orang setiap tahunnya, dan akan mencapai
86 juta di 2020. Golongan ini berorientasi pada keluarga, tidak suka resiko,
dan setia terhadap merk, khususnya merk-merk lokal (walau yang dimaksud “lokal”
itu hanya berdasarkan persepsi saja).”
sumber : https://id.techinasia.com/5-masalah-pebisnis-teknologi-indonesia/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar